Tuesday, April 7, 2020

Sejarah dan Komponen Penting yang dari Terbentuknya Kota Yogyakarta

Learning More about Jogja – The City of Culture

Kota bersejarah Yogyakarta adalah kota tradisional Jawa yang didirikan pada 1756 oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana pertama sebagai pusat Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (selanjutnya dikenal sebagai Kasultanan Yogyakarta). Berbeda dari kota Jawa lainnya, pusat kota ini dirancang berdasarkan pada kosmologi dan filosofi Jawa tertentu sebagaimana dinyatakan dalam lokasi dan rencananya. Lokasi kota Yogyakarta sengaja dipilih untuk secara tepat mencerminkan mikrokosmos, sedangkan rencana pusat kota disusun berdasarkan filosofi Jawa mengenai sifat takdir manusia. Dengan demikian, setiap komponen pusat kota bersejarah Yogyakarta memiliki makna filosofisnya sendiri.


Pusat kota Yogyakarta terletak di tanah datar di lereng Gunung Merapi. Dalam langkap yang lebih luas, terletak di antara Gunung Merapi dan Laut Selatan atau Samudra Hindia yang dianggap sebagai dua elemen penting dalam kosmologi Jawa. Ke timur dan barat, masing-masing diapit oleh tiga sungai. Ada Kali Code, Kali Gadjahwong, dan Sungai Opak di sisi timur, dan di sisi barat ada Kali Winongo, Kali Bedog, dan Sungai Progo. Dalam kosmologi Hindu-Jawa, bentang alam seperti itu telah dianggap sebagai cerminan dari Semesta yang terdiri dari Gunung Mahameru di tengah yang dikelilingi oleh cincin-cincin laut dan daratan berselang-seling. Itulah alasan Sultan Hamengkubuwono I memilih tanah datar ini sebagai tempat yang cocok untuk membangun istananya dan kota Yogyakarta.

Dalam pengaturan lanskap seperti itu, pusat kota bersejarah Yogyakarta dianggap sebagai mikrokosmos di mana manusia harus hidup untuk memenuhi takdir mereka. Karena itu kota ini direncanakan untuk mencerminkan nasib manusia sebagaimana dikonseptualisasikan dalam filsafat Jawa. Dalam konteks ini, nasib manusia dijelaskan dalam tiga konsep dasar. Pertama, setiap manusia harus mengetahui asal usul dan tujuan akhir kehidupan manusia (sangkan paraning dumadi) dan mengikuti siklus hidup manusia itu. Kedua, selama hidup mereka, manusia harus menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan - Manusia - Alam lainnya (manunggaling kawula Gusti). Dan, terakhir tugas semua manusia adalah membuat dunia indah dan damai (hamemayu hayuning bawono). Semua ide ini diwujudkan dalam rencana pusat kota bersejarah Yogyakarta.

Awalnya pusat kota bersejarah Yogyakarta mencakup area sekitar 1500 hektar yang terletak antara Kali Code dan Kali Winongo dengan istana atau Keraton Kesultanan Yogyakarta sebagai pusatnya. Perbatasan utara dan selatan masing-masing ditandai oleh Tugu Pal Putih sekitar 2 km utara dari Kraton dan Panggung Krapyak sekitar 1,5 km ke selatan. Jalan arah selatan-utara menghubungkan ketiga komponen utama kota bersejarah tersebut. Jalan linier ini merupakan poros filosofis di mana semua komponen bermakna kota Yogyakarta ditempatkan untuk melambangkan seluruh siklus hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Struktur piramida terpotong dari Panggung Krapyak mewujudkan unsur perempuan (yoni atau rahim) di mana bentuk kehidupan yang paling awal dikandung. Di sini siklus hidup manusia dimulai dan kemudian mengikuti perjalanan dari Panggung Krapyak ke Kraton yang menggambarkan urutan kehidupan manusia dari konsepsi hingga dewasa (sangkan = asal-usul). Sementara itu urutan kehidupan dari dewasa ke kematian dan kembali ke Tuhan (Sang Pencipta) ditandai dengan perjalanan dari Tugu Pal Putih ke Kraton. Tugu Pal Putih atau kolom tanda putih pada awalnya dirancang sebagai kolom silindris putih dengan bentuk bulat atas. Kolom ini melambangkan unsur laki-laki serta kesatuan Tuhan dengan Raja dan Raja dengan rakyatnya sebagai manifestasi hubungan harmonis antara Tuhan dan manusia (manunggaling kawulo gusti). Ketika Sultan bermeditasi di Kraton, ia akan mengarahkan konsentrasinya ke kolom ini.

Kursus dari Tugu Pal Putih ke Kraton dibagi menjadi tiga bagian yang melambangkan cara untuk mencapai status dalam kehidupan SEHAT MAKAN BUAH DAN SAYUR. Dari utara ke selatan, bagian-bagian ini mewakili jalur untuk mencapai keunggulan (margotomo), kehidupan yang tercerahkan (malioboro), dan martabat (margamulyo). Sepanjang kursus ada juga dua komponen kota yang penting, yaitu Kepatihan (kantor administrasi) dan Pasar Beringharjo (pasar kesultanan). Dua komponen ini menandakan hambatan atau godaan untuk mencapai kehidupan yang ideal, yaitu dalam mengejar kekuatan birokrasi atau status sosial dan kesejahteraan materi secara berurutan.

Luas pusat kota bersejarah yang diusulkan untuk dicantumkan dalam Daftar Warisan Dunia adalah 1260 hektar. Batas-batas daerah ini adalah Jalan Prof. Dr. Sardjito - Jalan Wolter Monginsidi di utara, tepi timur Kali Code di timur, lingkar luar selatan Kota Yogyakarta di selatan, dan tepi barat Kali Winongo di barat. . Bagian utama ini terdiri dari dua zona: zona inti (606.904 Ha) dan zona penyangga (657, 064 Ha). Seperti dijelaskan di atas, komponen utama dari pusat kota bersejarah Yogyakarta diusulkan menjadi dunia kerja warisan adalah elemen yang bermakna di sepanjang poros filosofis. Ini adalah Tugu Pal Putih, jalur dari Tugu Pal Putih ke Kraton, Kepatihan, Pasar Beringharjo, Kompleks Kraton Kesultanan Yogyakarta, jalur dari Kraton ke Panggung Krapyak dan Panggung Krapyak. Rincian komponen ini dijelaskan di bawah (dari selatan ke utara).

Komponen

Panggung Krapyak

Panggung Krapyak terletak sekitar 2 km sebelah selatan Kraton Yogyakarta. Ini adalah bentuk piramida terpotong. Mengukur 17,6 mx 15 m di pangkalan dan tingginya 10 m. Bentuk dan artinya mirip dengan yoni dalam agama Hindu yang menandakan unsur perempuan. Piramida terpotong ini telah dibangun di dalam hutan kerajaan dan struktur itu digunakan juga untuk platform pemburu.

Jalur dari Panggung Krapyak ke Kraton

Jalur ini menghubungkan Panggung Krapyak ke gerbang selatan Kraton dalam garis lurus yang melambangkan awal kehidupan (sebelum kelahiran). Berdekatan dengan Panggung Krapyak, di utara, masih ada toponim yang disebut "mijen" yang berarti "menjadi benih kehidupan". Di sepanjang jalur ini, ada pohon asam (asem) dan sawo (sawo kecik). Pohon-pohon ini menunjukkan kondisi "terpesona" atau "menyihir" dan "semuanya baik-baik saja" atau "kebaikan". Pohon asam adalah lambang “menyihir” dan pohon sawo sebagai lambang “kebaikan”.

Kompleks Kraton

Kompleks Kraton (istana) adalah bagian tengah dari kota tradisional Jawa. Sultan tinggal di kompleks ini yang dikelilingi oleh tembok kota (baluwarti). Secara keseluruhan kompleks Kraton menghadap ke utara. Di dalam kompleks ini ada komponen penting dengan makna yang signifikan, yaitu Alun-alun (alun-alun), Masjid Agung (masjid gedhe), kediaman Sultan dan elemen pelengkap lainnya seperti kastil air (taman sari). Alun-alun adalah area terbuka di depan (utara) dan di belakang (selatan) Kraton atau Istana. Itu ditandai oleh pohon beringin sebagai lambang perlindungan. Alun-alun utara berukuran 300 mx 300 m. Di alun-alun ini, Sultan melakukan upacara publik dan bertemu orang-orangnya. Masjid Agung (masjid gedhe) adalah tempat di mana Sultan bersama umatnya bertemu dengan Dewa. Karenanya alun-alun dan masjid menandakan konsep hubungan yang harmonis antara Tuhan manusia alam dan juga manunggaling kawula gusti (kesatuan Tuhan dan Manusia serta Raja dan umatnya).

Jalur dari Tugu ke Kraton

Jalur ini adalah jalan lurus yang menghubungkan Tugu ke Kraton. Ini terdiri dari tiga segmen dengan masing-masing memiliki makna khusus. Segmen pertama adalah sekitar sepertiga panjang dari utara (Tugu Pal Putih) dan disebut sebagai margatama (jalur keunggulan), yang kedua adalah maliabara (kemauan kuat untuk mencerahkan) dan yang ketiga adalah margamulya (jalan menuju martabat). Ketika Sultan bermeditasi di ruang Mangunturtangkil di dalam Kraton, ia akan memfokuskan pikirannya pada kolom karena poros dari Kraton ke Tugu dianggap sebagai simbol arah ke Mekah. Sementara itu, arah yang terbalik dari utara ke selatan (Tugu ke Kraton) menandakan perjalanan kembali ke Tuhan (kematian).

Kepatihan

Kepatihan adalah kompleks bangunan yang terletak di Jalan Malioboro (maliabara). Kompleks ini dibangun sebagai rumah Patih (perdana menteri) yang bertanggung jawab untuk mengelola administrasi pemerintahan dan melaksanakan mandat Sultan. Hingga kini Kepatihan masih digunakan sebagai pusat pemerintahan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada sejumlah arsitektur Jawa asli di kompleks ini, meskipun beberapa bangunan baru telah dibangun karena kebutuhan pembangunan. Keberadaan kompleks ini di sepanjang poros filosofis melambangkan godaan. Ini berarti bahwa seseorang tidak boleh terikat pada status sosial atau birokrasi untuk bersatu kembali dengan Tuhan di Akhirat.

Pasar Beringharjo

Pasar Beringharjo terletak di timur laut Kraton Yogyakarta. Pasar adalah bagian penting dari scape kota tradisional Jawa dan Kasultanan. Itu adalah simbol tugas Sultan untuk membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Pasar Bering-harjo awalnya adalah pasar ruang terbuka. Dalam perjalanan sejarah, telah berubah beberapa kali dan sekarang menjadi bangunan besar dengan dua lantai dan beberapa fasilitas modern karena kebutuhan masyarakat. Namun, fungsi dan lokasinya masih sama hingga saat ini. Meski begitu orang masih bisa merasakan nuansa pasar tradisional Jawa. Pasar ini juga mewakili dunia material yang harus ditinggalkan ketika seseorang ingin mencapai persatuan dengan Tuhan.

Tugu Pal Putih

Tugu Pal Putih adalah kolom batu atau pilar setinggi 15 meter dengan dasar persegi. Ini memiliki penampang persegi dan tubuh lancip. Di atasnya, ada spiral runcing, seperti tanduk unicorn. Monumen ini terletak sekitar 2,5 km utara Kraton, sebagai titik orientasi ketika Sri Sultan melakukan meditasi di istananya.

No comments:

Post a Comment